Laman

HILAL, BULANNYA ATAU CAHANYA??

Hilal bukanlah wujud bulan secara fisik, -seperti yang banyak dipahami oleh kebanyakan orang,-. Akan tetapi hilal adalah cahaya bulan yang berasal dari sinar matahari yang mengenai benda bulan yang kemudian dipantulkan oleh bulan kebumi sehingga terlihat oleh mata.
            Jika yang dimaksud dengan bulan itu adalah benda bulan maka itu adalah arti dari qamar bukan hilal. Dengan pemahaman demikian, maka konsep hisab hakiki wujudul hilal, -yang diikuti oleh Muhammadiyah dan ormas lainnya,- maka kurang tepat jika memakai istilah wujudul hilal, tetapi lebih tepat menggunakan istilah wujudul qamar. Karena dalam pemahaman hisab hakiki wujudul hilal, adalah bulan secara fisik telah wujud dan berada di atasa ufuk, bukan kilatan cahaya bulan yang tampak sebagai akibat dari pancaran sinar matahari kearah bulan secara fisik.  Jika demikian maka konsepi ini menyalahi aturan syari’ah, karena yang dijadikan patokan/penentuan adalah hilalnya bukan qamarnya.

            Dalam bahasa Arab, hilal berarti bulan sabit,- suatu nama bagi cahaya bulan menyerupai sabit yang tapak di awal bulan dan dapat dilihat. Pengertian ini memiliki dasar dari Al-Qur’an al-Baqarah ayat 189, “ yas alunaka anil ahillah qul hiya mawaqitu linnas wal hajji...Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”. Ayat ini menerangkan bahwa hilal itu kalender bagi ibadah dan aktifitas lainnya seperti haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat, para mufassir seperti al-Maraghi, as-Shabuni dan sayyid Quthub mendefinisikan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat.

            Selain dari al-Qur’an, penjelasan lebih lanjut juga diperkuat oleh dalil hadist Rasulullah SAW. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh  imam Ahmad dan Abu Dawud dari rib’i bin hirasy dari salah seorang sahabat Rasulullah yang menyatakan adanya perbedaan dikalangan sahabat mengenai akhir Ramadlan kemudian dua orang a’rabi datang menghadap Rasulullah SAW seraya mengatakan, “demi Allah, sungguh telah tampak hilal kemarin sore”. 

            Atas laporan itu, Rosulullah memerintahkan berbuka dan menjalankan shalat Idul Fitri hari esoknya (karena waktu itu sudah memasuki waktu dzuhur). Hadist ini menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadist-hadist lainnya seperti hadistnya Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah di atas.

            Dari penjelasan dalil-dalil syari’ah tersebut di atas  dapat diambil simpulan bahwa hilal menurut syari’ah adalah bulan sabit yang cahanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat dengan mata di awal sesaat setelah matahari terbenam, menjadi petunjuk bagi datangnya bulan baru atau pergantian bulan. Singkat kata, hilal itu cahaya, cahaya yang lembut laksana benang yang tampak dan terlihat oleh mata di awal bulan sesaat setelah matahari terbenam.

            Alhasil, jika hilal itu cahaya, maka cahaya harus dilihat tidak bisa dihitung saja walaupun menggunakan perangkat perhitungan paling canggih dan paling persisi sekalipun. Dengan kata lain, hasil hisab harus mendapatkan pembenaran dari hasil rukyat. Hisab adalah sebagai informasi awal keberadaan bulan (qamar) itu berada dan sebagai penuntun/petunjuk untuk melaksanakan rukyat sebagai aktifitas konfirmatif akan eksistensi keberadaan hilal (cahaya bulan).

Tidak ada komentar: